Apa Itu Black Friday? Sejarah, Kontroversi, dan Fenomena Belanja Global
Admin 11/29/2025
Apa Itu Black Friday? Sejarah, Kontroversi, dan Fenomena Belanja Global
Black Friday adalah istilah untuk hari Jumat setelah Thanksgiving di Amerika Serikat, yang menandai dimulainya musim belanja akhir tahun dan dikenal sebagai salah satu hari belanja tersibuk di dunia. Dari yang awalnya hanya tradisi diskon besar di toko fisik, kini Black Friday menjelma jadi festival belanja global mulai dari pusat perbelanjaan, e-commerce, hingga aplikasi mobile.
Dalam beberapa tahun terakhir, penjualan online pada periode Black Friday terus memecahkan rekor. Di berbagai negara, nilai transaksi di hari ini bisa menyentuh miliaran dolar dalam satu hari, didorong oleh promo agresif, perang harga, dan pergeseran perilaku belanja dari offline ke online.
Di Indonesia sendiri, istilah Black Friday mulai jauh lebih dikenal sejak penetrasi marketplace dan e-commerce internasional meningkat. Meski gaungnya masih bersaing dengan Harbolnas seperti 11.11 dan 12.12, semakin banyak brand dan retailer lokal yang ikut “nebeng momentum” Black Friday untuk menarik perhatian konsumen, terutama di segmen elektronik, fashion, dan produk digital.
Namun, di balik euforia diskon, Black Friday juga dipenuhi kontroversi: tekanan konsumerisme, isu eksploitasi pekerja, potensi jebakan utang, hingga dampak lingkungan dari budaya belanja besar-besaran.
Apa Itu Black Friday di Era Modern?
Definisi Black Friday dalam Dunia Retail
Dalam konteks retail modern, Black Friday adalah:
- Hari diskon besar-besaran yang berlangsung pada hari Jumat setelah Thanksgiving di Amerika Serikat.
- “Gerbang” musim belanja akhir tahun, yang berlanjut ke akhir pekan panjang hingga Cyber Monday.
- Momentum strategis bagi brand dan retailer untuk menghabiskan stok, menaikkan omzet, dan “mengunci” konsumen sebelum pesaing lain.
Secara praktis, banyak retailer yang tidak lagi membatasi promo hanya di hari Jumat. Kampanye diskon bisa dimulai sejak awal minggu, bahkan dari awal November, lalu berlanjut ke Cyber Monday dan “Cyber Week”.
Bagi konsumen, Black Friday identik dengan:
- Diskon besar untuk produk elektronik, gadget, fashion, game, dan perangkat rumah tangga.
- Penawaran bundling spesial yang kadang hanya muncul setahun sekali.
- Kuota stok terbatas yang memaksa orang bergerak cepat agar tidak kehabisan.
Di Indonesia, pola ini mulai ditiru oleh marketplace besar. Meski tidak selalu menggunakan label “Black Friday” secara eksplisit, banyak kampanye diskon akhir November yang mengusung narasi serupa: kupon terbatas, flash sale, dan diskon besar untuk kategori populer seperti smartphone, smart TV, dan perangkat rumah tangga pintar.
Kapan Black Friday Dilaksanakan Setiap Tahun?
Black Friday tidak punya tanggal yang benar-benar tetap, tetapi selalu jatuh pada:
- Hari Jumat keempat bulan November, tepat setelah Thanksgiving di Amerika Serikat.
Contoh:
- Jika Thanksgiving jatuh pada Kamis, 27 November, maka Black Friday jatuh pada Jumat, 28 November.
- Setiap tahun tanggalnya bergeser, tetapi ritme kampanye diskon secara global tetap mengikuti periode yang sama.
Bagi pelaku bisnis dan tim marketing, pola ini memudahkan perencanaan. Kalender editorial, stok produk, dan anggaran iklan digital biasanya sudah disiapkan jauh hari untuk menjemput momentum Black Friday, terutama bagi brand yang bermain di pasar global.
Posisi Black Friday di Kalender Belanja Global
Dalam kalender belanja global, Black Friday menjadi salah satu “puncak” dari rangkaian hari diskon besar, berdampingan dengan:
- Singles’ Day 11.11 yang populer di Tiongkok dan kemudian diadopsi marketplace global.
- Cyber Monday yang fokus ke promo belanja online.
- Harbolnas 11.11 & 12.12 di Indonesia sebagai festival diskon online nasional.
Di Indonesia, pola yang sering terjadi adalah:
- Awal November: kampanye 11.11 dengan fokus diskon besar dan voucher ongkir.
- Akhir November: beberapa brand dan marketplace mengemas kombinasi kampanye Black Friday / Cyber Week dengan nama lokal yang lebih familiar.
- Awal pertengahan Desember: Harbolnas 12.12 sebagai penutup besar akhir tahun.
Artinya, Black Friday tidak berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari “maraton diskon” menjelang akhir tahun yang sangat menentukan performa omzet e-commerce, termasuk di Indonesia.
Sejarah dan Asal Usul Istilah “Black Friday”
Black Friday dalam Sejarah Keuangan Amerika
Istilah “Black Friday” sebenarnya sudah digunakan jauh sebelum identik dengan diskon belanja. Dalam sejarah Amerika Serikat, salah satu momen besar yang memakai istilah ini adalah krisis pasar emas pada 24 September 1869, ketika dua spekulan keuangan mencoba menguasai pasar emas dan memicu kepanikan besar.
Saat itu, kata “black” dipakai untuk menandai hari yang penuh bencana—mirip dengan istilah “Black Monday” atau “Black Thursday” di sejarah keuangan.
Meski momen ini tidak berkaitan langsung dengan dunia retail modern, istilah “Black Friday” kemudian dipinjam dan mendapatkan makna baru seiring perkembangan industri perdagangan dan budaya konsumerisme.
Dari Kemacetan Kota Philadelphia ke Istilah Retail
Penggunaan istilah Black Friday yang lebih dekat dengan konteks belanja muncul pada tahun 1950–1960-an di Philadelphia.
Beberapa catatan menyebut:
- Polisi lalu lintas di kota tersebut menyebut hari Jumat setelah Thanksgiving sebagai “Black Friday” karena kemacetan parah dan keramaian orang yang datang untuk belanja dan menonton pertandingan American football.
- Pedagang dan media lokal kemudian ikut memakai istilah tersebut untuk menggambarkan betapa “chaos”-nya situasi di pusat kota pada hari itu.
Dari sinilah istilah Black Friday mulai menyebar ke kota-kota lain, hingga akhirnya menjadi istilah nasional di Amerika Serikat dan kemudian global.
Mitos “Dari Merah ke Hitam” dalam Catatan Keuangan
Ada satu penjelasan populer yang sering beredar: Black Friday disebut demikian karena hari itu adalah titik balik ketika toko-toko berpindah dari “merugi (merah)” ke “untung (hitam)” dalam pembukuan akuntansi.
- Dalam pembukuan tradisional, angka rugi sering ditulis dengan tinta merah, sementara laba dengan tinta hitam.
- Narasi ini kemudian diadopsi sebagai materi marketing: Black Friday diklaim sebagai hari ketika retailer “akhirnya masuk ke zona hitam”.
Namun, banyak sejarawan menilai penjelasan tersebut muncul jauh belakangan sebagai cerita pemasaran yang terdengar rapi, bukan asal usul istilah yang sesungguhnya. Meski begitu, mitos ini terlanjur melekat dan sering digunakan brand sebagai “storytelling” pemasaran saat mempromosikan kampanye Black Friday.
Black Friday sebagai Fenomena Belanja Global
Lonjakan Penjualan Online, Mobile, dan Cross-Border
Seiring berkembangnya e-commerce, Black Friday tidak lagi terbatas pada toko fisik di Amerika Serikat.
Beberapa tren penting yang bisa dilihat:
- Penjualan online global saat Black Friday terus mencatat pertumbuhan dari tahun ke tahun, dengan nilai transaksi yang mencapai puluhan miliar dolar.
- Di banyak negara, Black Friday menjadi salah satu hari dengan trafik website tertinggi, terutama untuk kategori elektronik, fashion, dan produk rumah tangga.
- Porsi mobile shopping (belanja lewat smartphone) terus meningkat, bahkan di beberapa pasar sudah mengalahkan desktop.
Di Indonesia, tren ini tercermin dari:
- Lonjakan trafik ke aplikasi dan situs marketplace pada akhir November.
- Banyaknya kampanye flash sale dan “jam kembar” yang membuat konsumen rela begadang demi mengejar diskon.
- Adopsi sistem pembayaran digital (e-wallet, virtual account, paylater) yang makin memudahkan transaksi hanya lewat beberapa kali tap di smartphone.
Belanja lintas negara (cross-border) juga mulai terasa di Indonesia. Konsumen lokal bisa memanfaatkan Black Friday untuk membeli barang dari toko luar negeri melalui platform global atau kanal “pesan dari luar negeri” di marketplace, meski perlu memperhitungkan ongkir internasional dan estimasi waktu pengiriman.
Dampak Ekonomi dan Peluang bagi Retail
Bagi retailer dan brand, Black Friday punya beberapa dampak positif:
- Meningkatkan volume penjualan dalam waktu singkat, yang sangat membantu menutup target tahunan.
- Membantu membersihkan stok lama dan menggantinya dengan produk baru.
- Menjadi ajang akuisisi pelanggan baru, yang kemudian bisa dipertahankan lewat program loyalti atau langganan.
Di Indonesia, momentum akhir November hingga Desember sering jadi “penentu” bagi banyak pelaku usaha:
- Brand elektronik menggunakan periode ini untuk menghabiskan stok seri lama sebelum meluncurkan generasi baru di awal tahun.
- UMKM dan brand lokal memanfaatkan diskon musiman untuk memperluas jangkauan, terutama lewat kampanye kolaborasi dengan marketplace atau influencer.
- Layanan pendukung seperti logistik, payment gateway, dan jasa iklan digital juga menikmati peningkatan permintaan yang signifikan.
Bagi pelaku bisnis, Black Friday (dan rangkaian kampanye akhir tahun di sekitarnya) bukan hanya soal diskon, tapi juga momen untuk menguji:
- Seberapa kuat infrastruktur teknologi mereka menahan lonjakan trafik.
- Seberapa efektif strategi pemasaran berbasis data, remarketing, dan personalisasi.
Konsumerisme, Utang, dan Kesehatan Mental Konsumen
Di sisi lain, banyak analis dan aktivis mengkritik Black Friday sebagai simbol konsumerisme berlebihan.
Beberapa isu yang sering disorot:
- Tekanan psikologis untuk “jangan sampai ketinggalan diskon”, yang mendorong orang membeli barang di luar kebutuhan.
- Risiko utang yang menumpuk, terutama ketika konsumen menggunakan kartu kredit atau skema cicilan/paylater tanpa perencanaan matang.
- Rasa menyesal setelah membeli (buyer’s remorse) ketika menyadari barang yang dibeli tidak benar-benar dibutuhkan.
Konteks Indonesia menambah lapisan baru:
- Banyak platform menawarkan fitur paylater yang membuat transaksi terasa “enteng di awal”, padahal beban cicilannya cukup berat jika diakumulasikan.
- Konsumen yang tidak terbiasa mengatur cashflow bisa dengan mudah terjebak pada cicilan paralel dari beberapa layanan sekaligus.
Karena itu, lembaga perlindungan konsumen dan edukator keuangan pribadi sering menekankan pentingnya:
- Menentukan skala prioritas belanja.
- Membuat daftar barang yang benar-benar dibutuhkan.
- Membatasi penggunaan paylater hanya untuk kebutuhan yang jelas dan produktif.
Hak Pekerja, Fast Fashion, dan Isu Lingkungan
Kontroversi lain muncul dari sisi sosial dan lingkungan:
- Peritel fast fashion dan elektronik sering dikecam karena mendorong produksi besar-besaran dengan jam kerja panjang dan upah rendah di negara berkembang.
- Lonjakan permintaan pakaian murah dan barang konsumsi sekali pakai berkontribusi terhadap limbah tekstil, emisi karbon, dan polusi.
- Di beberapa negara, serikat pekerja memprotes jam kerja maraton karyawan ritel selama Black Friday, yang kadang dimulai sejak tengah malam atau bahkan malam Thanksgiving.
Di Indonesia, dampak lingkungan juga terasa dalam bentuk lain:
- Peningkatan volume paket dan logistik berarti lebih banyak penggunaan kemasan plastik, bubble wrap, dan karton.
- Pengiriman barang yang tersebar di berbagai daerah membutuhkan energi dan berkontribusi pada jejak karbon.
Sebagai respons, muncul kampanye tandingan seperti “Buy Nothing Day” atau “Green Friday” yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi dan lebih memilih produk berkelanjutan, berkualitas lebih tahan lama, dan diproduksi secara etis.
Tren Baru: AI, Personalised Deals, dan Buy Now Pay Later
Di era digital saat ini, Black Friday juga menjadi ajang uji coba teknologi baru:
- Retailer memanfaatkan AI dan machine learning untuk merekomendasikan produk, menentukan harga dinamis, dan menargetkan promo ke pelanggan yang paling potensial.
- Sistem rekomendasi produk yang semakin cerdas membuat konsumen melihat iklan dan penawaran yang sangat relevan dengan riwayat belanja dan pencarian mereka.
- Penggunaan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater membuat transaksi besar terasa lebih “ringan” di awal, tetapi berpotensi menjerat konsumen ke dalam komitmen pembayaran jangka panjang jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Di Indonesia, kombinasi AI + paylater + promo akhir tahun adalah “senjata utama” banyak platform:
- AI dipakai untuk mengelompokkan pengguna berdasarkan minat (gadget, fashion, kebutuhan rumah tangga) dan menampilkan banner promo yang berbeda untuk setiap segmen.
- Layanan paylater lokal dan global menjadi opsi default di halaman checkout, dengan penawaran cicilan nol persen atau tenor panjang.
Di sisi positif, teknologi ini membantu konsumen menemukan penawaran yang lebih relevan dan menghemat waktu. Tetapi di sisi lain, tanpa literasi keuangan yang memadai, kemudahan ini bisa membuat orang sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan sesaat.
FAQ Singkat
1. Apa itu Black Friday?
Black Friday adalah hari Jumat setelah Thanksgiving di Amerika Serikat yang dikenal sebagai hari diskon besar-besaran di toko fisik maupun online, dan sering dianggap sebagai awal musim belanja akhir tahun.
2. Kenapa disebut “Black Friday”?
Istilah ini awalnya dipakai untuk menggambarkan hari yang penuh kemacetan dan kekacauan di Philadelphia setelah Thanksgiving. Penjelasan “dari merah ke hitam” dalam pembukuan keuangan lebih sering dianggap sebagai narasi pemasaran yang muncul belakangan.
3. Apa bedanya Black Friday dan Cyber Monday?
Black Friday berakar dari diskon di toko fisik (meskipun sekarang juga kuat di online), sementara Cyber Monday diciptakan untuk mendorong belanja online pada hari Senin setelah Thanksgiving. Di era sekarang, keduanya menyatu dalam rangkaian promo panjang yang sering disebut Cyber Week.
4. Apakah Black Friday juga ada di Indonesia?
Indonesia tidak merayakan Thanksgiving, tetapi konsep Black Friday mulai diadopsi oleh sejumlah e-commerce dan brand global. Gaungnya bersaing dengan Harbolnas 11.11 dan 12.12, sehingga banyak kampanye akhir November dibungkus dengan nama yang lebih lokal namun mengusung semangat diskon besar ala Black Friday.
5. Bagaimana cara belanja aman saat Black Friday?
Beberapa langkah dasar: buat daftar kebutuhan, tetapkan anggaran, bandingkan harga sebelum dan saat promo, waspadai penipuan online, dan hindari mengambil cicilan atau paylater di luar kemampuan bayar. Dengan begitu, Anda tetap bisa memanfaatkan promo tanpa terjebak utang atau pembelian impulsif.
Kesimpulan
Black Friday bukan lagi sekadar hari diskon setelah Thanksgiving di Amerika Serikat. Dalam beberapa dekade terakhir, ia telah berubah menjadi fenomena belanja global yang memengaruhi strategi bisnis, perilaku konsumen, hingga tren teknologi di industri retail.
Dari sisi positif, Black Friday membantu mendorong ekonomi, membuka lapangan kerja musiman, dan memberi peluang bagi konsumen untuk mendapatkan barang dengan harga lebih terjangkau. Di Indonesia, momentum akhir November kini ikut dilirik pelaku e-commerce, brand lokal, dan UMKM sebagai jendela peluang untuk memperkenalkan produk ke audiens lebih luas dengan biaya akuisisi yang relatif efisien.
Namun, di balik itu semua, ada harga yang perlu diperhatikan:
- Konsumerisme berlebihan yang bisa menekan kesehatan finansial dan mental.
- Isu sosial seperti beban kerja karyawan ritel dan rantai pasok global yang tidak selalu adil.
- Dampak lingkungan dari pola produksi dan konsumsi yang serba cepat dan murah.
Memahami sejarah, konteks, dan kontroversi di balik Black Friday membantu kita mengambil posisi yang lebih seimbang: menikmati promo yang relevan, tetapi tetap kritis, terencana, dan berpihak pada keberlanjutan.
CTA: Belanja Cerdas di Era Diskon Besar-besaran
Jika Anda adalah konsumen di Indonesia, jadikan Black Friday dan rangkaian promo akhir tahun sebagai momen untuk belanja cerdas, bukan sekadar belanja besar-besaran.
- Susun prioritas kebutuhan sebelum promo dimulai.
- Bandingkan harga dan cek ulang kualitas produk, bukan hanya angka diskonnya.
- Gunakan kartu kredit atau paylater secara bijak, hanya untuk hal yang benar-benar mampu Anda cicil.
Sebaliknya, jika Anda pelaku bisnis, manfaatkan momen ini untuk:
- Menguji strategi pemasaran digital, teknologi AI, dan pengalaman belanja omnichannel.
- Membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan, bukan hanya mengejar penjualan sesaat.
Dengan pendekatan yang tepat, Black Friday bisa menjadi momentum yang menguntungkan baik bagi konsumen maupun pelaku usaha tanpa harus mengorbankan kesehatan finansial, kesejahteraan pekerja, dan lingkungan.
Sekian dulu, Terima Kasih dan Semoga Bermanfaat!.